Indonesia
dengan kekayaan hayati melimpah hingga kini tidak didukung kecukupan
jumlah peneliti satwa liar. Akibatnya, banyak informasi keanekaragaman
hayati Tanah Air yang belum terdeteksi jenis dan potensinya.
”Sangat
mungkin banyak satwa yang punah sebelum kami ketahui data dan
informasinya,” kata Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Nuramaliati Prijono kepada wartawan di
Cibinong Science Center, Bogor, Rabu (12/8).
Data
Badan Konservasi Dunia (IUCN) menunjukkan, sejumlah satwa liar khas
Indonesia masuk kategori terancam punah, seperti orangutan, komodo,
harimau sumatera, dan badak jawa. Di sisi lain tidak mudah menemukan
peneliti dalam negeri yang benar-benar mendalaminya.
Minimnya
jumlah peneliti LIPI tersebut seiring dengan anggaran penelitian yang
minim. Adapun penelitian lapangan dan laboratorium bidang zoologi
membutuhkan dana besar untuk mobilitas dan ketersediaan sarana
penelitian.
Saat
ini jumlah peneliti di Puslit Biologi LIPI sebanyak 208 orang. Jumlah
itu termasuk peneliti tumbuh-tumbuhan (botani) dan mikrobiologi.
Dari
jumlah yang sudah terbagi itu, tugas peneliti satwa (zoologi) secara
umum masih dibagi dua, yaitu meneliti dan menemukan jenis-jenis baru dan
memprediksi potensi ke depan (bioprospeksi). Sementara itu, jumlah
satwa liar di Tanah Air mencapai jutaan jenis.
”Oleh
karena itu, kami membangun jaringan dengan perguruan tinggi dan LSM
internasional,” kata Kepala Bidang Zoologi LIPI Jauhar Arif.
Sebagai
gambaran, untuk 703 jenis mamalia di Indonesia hanya ada delapan
peneliti mamalia di LIPI. Peneliti burung sebanyak 10 orang untuk
1.600-an jenis burung, tiga peneliti untuk 150 jenis amfibi, 27 peneliti
untuk 350-an jenis reptil, 17 peneliti untuk jutaan jenis serangga,
serta 5 peneliti untuk 2.000 jenis ikan air tawar.
Siti
menyatakan, fokus penelitian Puslit Biologi LIPI adalah menemukan jenis
baru, sebaran, dan potensi pemanfaatannya ke depan. Eksotisisme dan
endemisitas satwa liar, seperti komodo, harimau sumatera, dan orangutan,
tidak menjadi pertimbangan pemilihan spesifikasi penelitian.
”Tugas
kami mengungkap kekayaan keanekaragaman hayati dan potensi
pemanfaatannya, seperti untuk obat, pangan, atau kesehatan,” ujar Siti.
Data dan informasi satwa liar bisa diperoleh dari hasil kerja sama
dengan peneliti di luar LIPI.
Meskipun
begitu, LIPI tetap turun tangan ketika ada kasus-kasus besar, seperti
polemik relokasi satwa komodo dari Flores, Nusa Tenggara Timur. ”Kami
turun tangan juga untuk kasus emergency seperti komodo,” kata Jauhar.
Minimnya
penelitian zoologi juga terpantau di tingkat sarjana. Penelitian dua
bulan terakhir di enam perguruan tinggi besar di Jawa Tengah
menunjukkan, jumlah skripsi terkait zoologi sangat minim.
”Jumlahnya hanya sekitar 1 persen dari total judul skripsi lima tahun terakhir,” kata peneliti burung LIPI, Mas Noerdjito.
Kondisi tersebut dimaknai sebagai hal yang mengkhawatirkan karena minimnya minat calon sarjana untuk meneliti zoologi. (AGP.k) Sumber: http://www.arthagrahapeduli.org/index.php?option=com_content&view=article&id=784:indonesia-minim-peneliti-satwa-liar&catid=52:umum&Itemid=57&lang=in
hmmm,, bisa jadi impian selanjutnya nih --> peneliti LIPI di bidang zoologi dengan keahlian mamalia besar :)
|
It's just me, my self and I. Story about my life, daily activity, trouble, love, friendship and anythings.....
Sabtu, 12 November 2011
Indonesia minim penelitian satwa liar
Tiba2 tertarik untuk cari tahu tentang peneliti LIPI khusus zoologi. Terus ketemu artikel ini, miris banged. Ironi buat Indonesia yang punya biodiversity yang berlimpah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar