Cinta,, gag semudah mengucapkannya
Dibalik indah kisahnya,
pasti ada kerikil mendampingi jalannya
Walau kecil, tapi dapat menusuk tajam
Membuat gentar kaki yang melangkah di atasnya....
Mungkin banyak orang yang menyerukan keberuntunganku.
Bagaimana tidak? Diawali dengan perkenalan yang dibumbui kesamaan2 tanpa
sengaja, lalu pertemuan yang menambah jalinan pertemanan, berlanjut ke rasa
aman dan nyaman, timbul rasa saling membutuhkan dan walau dengan sedikit
keraguan akhirnya memutuskan untuk berkomitmen pacaran. Kelihatannya mulus
tanpa putus bukan? Ada yang berkata bahwa tidak lebih beruntung selain berpacaran dengan sahabat sendiri,
orang terdekat yang paling memahami. Yang lainnya mengagungkan kebaikan dan
ketulusannya hingga mencapku sebagai orang terbodoh jika aku menolaknya.
Sebagian lainnya berkata bahwa rasa suka itu akan timbul seiring dengan
berjalannya waktu.
Ya, semua itu benar. Lihat aku sekarang, dua bulan berjalan.
Keraguan itu pun perlahan hilang. Aku sudah tidak mempedulikan lagi apakah aku
ini benar2 suka dengannya atau tidak. Aku tidak menggubris lagi hal-hal
prinsipil yang membuatku meragukannya. Semua hal yang awalnya membuatku
berfikir bahwa dia bukan untukku sekarang menguap tak berbekas. Itulah dia,
utuh kuterima, seperti dia utuh menerimaku.
Dengan semua kesempurnaan itu, ternyata Allah mungkin
menyimpan cerita lain untukku. Allah itu adil, aku tahu. Dibalik manis, pasti
ada pahit. Dibalik sempurnanya kisahku, ternyata ada kekurangan di dalamnya.
Awalnya aku biasa saja, cuek lebih tepatnya terhadap masalah ini. Tapi sekarang
ini puncaknya, puncak perasaanku lebih tepatnya. Dimana aku benar2 merasa putus
asa. Jujur, aku tahu aku sanggup untuk menjalaninya, tapi aku lelah... sangat
lelah....
Aku pun tahu, dia pasti lebih lelah lagi. Aku tahu, harusnya
aku membantunya, menenangkannya. Bukannya malah pasang tampang
cemas-cemberut-putus asa seperti tadi. Tapi inilah aku, gag bisa nutup2in apa
yang aku rasain ke dia.
Kita berdua,, dari latar belakang keluarga yang berbeda
dengan didikan yang berbeda pula. Posisiku di keluarga adalah anak pertama dari
tiga bersaudara. Walau perempuan tapi porsi kepercayaan yang diberikan
keluargaku cukup besar untukku. Selain memang aku bukanlah anak perempuan
satu2nya di keluarga, aku juga sudah dididik untuk terbiasa hidup terpisah
dengan kedua orangtuaku. Kelas satu SD aku sudah merasakan jauh dari orangtua.
SMA dan sebagian masa kuliahku juga kujalani tanpa tinggal seatap dengan
mereka. Saat kuliah ini, aku sudah tinggal lagi bersama mereka. Kebiasaanku
yang suka berkelana kemana-kemana, baik itu dalam atau luar kota tidak pernah
mereka permasalahkan. Pulang malam pun menjadi hal yang biasa bagi mereka,
mereka baru mencariku jika jam sudah menunjukkan hampir jam 12 malam, itupun
karena mereka mau mengunci pintu untuk tidur. Pokoknya aku bebas
sebebas-bebasnya. Seperti anak laki2 yang sudah tahu apa tanggungjawabnya.
Seperti laki2 yang tak kenal waktu main sana sini. Jalan sana sini menjelajah
tempat baru, komunitas dan kawan2 baru tanpa pernah dipertanyakan secara
berlebihan oleh orangtua. Itulah aku. Sementara dia, bungsu dari dua bersaudara
dan satu2nya anak laki2. Kesehariannya sebagai anak rumahan yang penurut dan
manis. Bukan hal yang biasa baginya pulang larut malam sebab memang tidak ada
hal yang dilakukannya. Udara luar hanya dihirupnya saat ia harus bolak balik
rumah-kampus-rumah. Tipe anak rumah sejati. Setara dengan anak mama tapi tak
serupa. Jiwanya sebenarnya ingin bebas tapi tanpa tujuan yang jelas. Hal yang
dianggap membuang waktu, tenaga dan materi bagi kedua orangtuanya apabila
dihabiskan hanya untuk bersenang-senang. Didikan khas perempuan, bahwa rumah
adalah tempat terbaik daripada harus bermain2 di luar. Dan dipertemukanlah
kita. Hal2 sepele tersebutlah yang akhirnya melahirkan satu kata L-E-L-A-H.
Yup, lelah! Bagaimana tidak?! Jika setiap pergi dan memang
harus pulang agak larut, alarm hidup sudah memanggil pulang. Bagaimana tidak
jika kamu pergi dengannya dan harus pulang agak larut, rasanya seperti penculik
atau buronan yang membawa barang berharga. Apakah enak jika rasanya kamu
seperti dianggap ‘merusak’ anak orang? Mengajarkannya membuang waktu,
berfoya-foya. Rasanya bahwa aku ini penyebab sekarang dia sering keluar hingga
larut malam, penyebab ia sering kehabisan uang, penyebab malasnya ia belajar,
dan penyebab2 negatif lainnya.
Rasanya LELAH!
Ia meminta solusi, aku tahu itu. Ia berkata bahwa jangan
hanya mengkritik tapi berikanlah solusi, bantu dia, katanya. Solusi yang ada
sekarang ialah : Jalanin aja. Yup, mau gimana lagi?
Di atas tempat tidur,
Pondok Pinang, 14 Desember 2011. 20:15 WIB
**anyway, saat gw posting tulisan ini, perasaan gw udah jauh jauh lebih baik. gag ad lagi yang perlu gw keluhkan, hanya sekedar pengen sharing aja alasan gw posting tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar